Pendahuluan
Perumpaan
tentang Anak yang Hilang adalah perumpamaan yang sudah sering kita dengar atau
kita baca. Perumpamaan ini secara khusus menggambarkan bagaimana rasanya
menjadi seorang ayah yang kehilangan anak yang sangat dikasihinya. Perumpamaan
ini didahului oleh dua perumpamaan yang secara implisit menggambarkan rasa
keterhilangan terhadap sesuatu yang sangat disayangi. Dirham dan domba adalah
dua jenis harta yang terhilang yang memang harus dicari. Keterhilangan terhadap
benda ini membuat pemilik melakukan pencarian.
Keterhilangan
juga dirasakan oleh seorang ayah yang ditinggal pergi oleh anak yang sangat
dikasihinya. Sebagaimana dirham dan domba yang hilang, Anak yang hilang
selayaknya memang juga harus dicari. Perumpamaan ini menggambarkan rasa
keterhilangan besar terhadap anak yang pergi, menggambarkan bagaimana rasanya
menjadi Ayah yang sakit rindu keterhilangan, sebagaimana Allah sakit rindu
kepada manusia untuk kembali setelah memilih untuk pergi dari rumah Bapanya. Tindakan
Allah tergambar jelas dari perumpamaan ini didalam penantian terhadap
kesembuhan penyakitnya : sakit rindu.
Secara
sekilas jika dilihat dari tingkat sosial keluarga ini dapat dikatakan bahwa
keluarga ini adalah keluarga bahagia. Jika rasa aman dan kebahagiaan seseorang
ditentukan oleh hak milik maka sepertinya tidak ada yang kurang. Tapi bagi anak
yang bungsu ketika segala sesuatu mempunyai aturan maka kecukupan akan menjadi
tidak ada gunanya. Ayah yang menjadi kepala keluarga menjadi mahluk yang
menghalangi kebebasan. Rumah Bapa bagaikan neraka yang harus secepatnya
ditinggalkan. Pada akhirnya anak bungsu membe-rontak, menginginkan kebebasan,
tanpa aturan tanpa perintah.
Di Taman
Eden ketika Allah menumbuhkan pohon ditengah taman (Kej 2 ; 9 + 17), tentang pohon
kehidupan dan pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, Allah
berfirman, “jangan makan”, “sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau
mati”. Tapi manusia dengan godaan iblis yang berkata “kamu akan seperti Allah”,
manusiapun tertarik, memakan, dan jadilah manusia menyingkirkan Allah sebagai
oknum yang membuat segala peraturan.
Manusia
tidak mendapatkan pengetahuan seperti yang mereka pikirkan kecuali mengetahui
“bahwa mereka telanjang”. Allah telah disingkirkan dari kehidupan mereka
sebagai Allah pencipta. Ketika manusia memakan buah pohon itu “manusia itu
telah menjadi seperti salah satu dari Kita” (Kej 3 ; 22). Manusia telah
“seperti” Allah, menjadi Tuhan bagi diri manusia sendiri. Segala aturan ditetapkan
sendiri, pohon pengetahuan yang tidak boleh dimakan bukan lagi sesuatu aturan
yang harus ditaati.
Anak
bungsu seperti manusia di Taman Eden ingin menetapkan peraturan sendiri. Ayah
tidak perlu campur tangan. Maka diapun meminta bagian yang menjadi haknya.
Harta yang dimiliki bersama ayah tidak ada artinya tanpa kebebasan dimana dia
menjadi tuan atas dirinya sendiri.
Didalam
budaya orang Yahudi sebuah wasiat barulah sah jika yang membuat wasiat telah
mati (Ibrani 9 ; 17). Maka ketika sang Ayah membagi-bagikan harta warisan yang
menjadi hak mereka, apa yang dilakukan anak bungsu dengan menjual bagiannya
adalah sebuah tindakan dimana dia menganggap Ayahnya telah mati. Seharusnya apa
yang menjadi bagiannya sebagai warisan tidak bisa disentuh selama pembuat wasiat
belum mati. Tapi anak bungsu melakukannya.
Ditempat
jauh dia berfoya-foya dengan uangnya, menikmati minuman keras, pelacur-pelacur,
kehidupan yang glamour bebas tanpa aturan. Memang benar inilah dunia yang saya
inginkan, pikirnya dalam hati. Ayah memang penghalang untuk kebebasanku.
Sejauh mana kita terbuang?
Anak
bungsu yang telah menetapkan jalan sendiri menjual warisan yang dimilikinya dan
menuntunnya ketempat yang jauh. Jauh dari intervensi sang Ayah. Disinilah awal
malapetaka bagi si bungsu yaitu indentitas yang benar dalam diri Ayah telah
hilang. Bersama Ayah segala sesuatu tersedia, tak terpikirkan apa akibat jika
jauh darinya. Kebebesan telah menjadi menara harapan yang harus di gapai,
seperti manusia ditaman Eden lupa bahwa mereka adalah ciptaan, anak bungsupun
lupa dia menikmati segala sesuatu karena berada di rumah bapanya. Hal yang
tidak terbayangkan dan tidak terpikirkan menimpa. Kelaparan, krisis makanan
yang tidak pernah dialami selama bersama Ayah kini menimpa.
Keadaannya
telah menuntunnya untuk menjadi seorang pekerja (penjaga Babi) pada seorang
majikan. Tetapi menjadi pekerja juga tidak memperbaiki nasibnya. Makanan sangat
sulit untuk didapatkan sekedar bertahan hidup. Ampas yang diperuntukkan untuk
babi kini dipandang layak untuk dimakan. Itupun tidak diberikan oleh sang
majikan. Apa yang kita lihat jika seseorang ingin mengisi perut dengan ampas
adalah kondisi yang benar-benar parah dan barangkali sudah tidak makan beberapa
hari. Tak terbayangkan jika “ampas” sudah dianggap layak untuk dimakan.
Keinginan
untuk mengisi perut dengan ampas pun tidak bisa dia dapatkan. Anak ini telah
pergi kemana-mana hanya untuk mendapatkan ampas untuk dimakan tetapi “tak
seorangpun” (Ayat 16) yang mau memberikannya. Anak bungsu ini benar-benar dalam
kesulitan besar. Susah makan dan minum, dan juga eksistensinya sebagai manusia
terancam hilang karena kelaparan. Dia telah jauh pergi, sejauh itu juga dia
menghilangkan arti kehidupan dalam dirinya. Kehidupan yang di impikan lebih
baik jika tanpa Ayah malah menjadi malapetaka besar.
Anak
bungsu yang malang, terbuang oleh keinginan sendiri dikandang babi, lemas,
kotor dan menjijikkan oleh bau kandang kini tak berdaya dan seolah tak
berharga. Dari sudut pandang sang majikan babi telah dianggap lebih penting dan
lebih berharga untuk dikasih makan daripada anak bungsu. Ya inilah dia anak
bungsu, babi telah “lebih
berharga” daripada dia. Itulah kita manusia tanpa identitas Bapa … Jauh dari
pangkuan Illahi, babi itu telah lebih berharga daripada kita.
Disini : Dikandang …. Yesus lahir.
Kalau kita pernah mempunyai ternak
babi atau paling tidak jika kita pernah pergi ke kandang babi kita pasti tahu
kondisi kandang babi. Bau menyengat yang jika kena ke tubuh bisa-bisa baunya
tidak hilang beberapa hari. Disinilah sianak bungsu berkutat, kesehariannya
bergumul tentang kehidupannya, mengharapkan kondisinya lebih baik. Bau jijik
tidak terhindarkan. Tidak ada pakaian bersih, tak ada fasilitas untuk
membersihkan badan, kondisinya makanpun susah.
Tapi disinilah … ya disini ditempat
bau dan kotor, becek dan menjijikkan, disini Anak Tunggal Bapa memilih untuk
dilahirkan. Bagaimana mungkin Allah Alam semesta berada ditempat itu. Bukankah
seharusnya Dia ada si Singgasana Kerajaan Kekal milikNya? Tetapi Dia memilih
ditempat kumuh dengan bau busuk menyengat, ditempat kita berkubang. Yesus itu …
sang Mesias memilih tempat lahir pada tempat yang “tidak seharusnya” agar kita
manusia yang sangat dikasihinya berada ditempat “yang seharusnya”. “Anakku
tempatmu bukan dikandang ini, mari ke Istana milik Bapa”, seruNya.
Sadar akan keadaannya
Titik balik
bagi si bungsu adalah : pertama, dia menyadari keadaaanya. Melihat dirinya
yang terancam, dia teringat masa lalu dimana segala sesuatu tersedia. Di rumah
Bapaku banyak orang upahan yang berlimpah-limpah makanannya tetapi aku disini
mati kelaparan (ayat 17). Kesadaran ini membangkitkan semangatnya untuk kembali
kepada Bapanya. Dia melihat dirinya “mati kelaparan”. Dia menangis, dia rindu
dan dalam sekejap dia menyadari bahwa tak ada yang lebih diinginkannya di dunia
ini kecuali pulang.
Kedua, dia mau bangkit
dan pergi (ayat 18). Anak bungsu ini berani mengambil keputusan untuk kembali
kepada bapa dengan harapan sedikit belas kasihan. Dia tidak mengharap untuk
mendapat haknya kembali sebagai anak, cukup hanya sebagai hamba, orang upahan
bapanya sendiri. Tindakan inilah yang sebenarnya tindakan bertanggung jawab,
sikap ksatria yang mau mengakui kesalahan dan mau memohon pengampunan. Menolak
untuk mengakui bahwa kita berdosa adalah tindakan yang akan membawa kita kepada
kehancuran.
Ayah yang selalu Menunggu
Ada
sesuatu yang menarik dari adegan jika seandainya kita merekonstruksi pertemuan
dari Ayah yang selalu merindukan anaknya untuk pulang. Anak ini telah menyusun
serapi mungkin urutan kata-kata yang akan diucapkan ketika suatu saat akan
bertemu dengan ayahnya. Melafalkan dengan baik, puitis dan bermakna Theologi.
Aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap Bapa, ungkapnya dalam hati (ayat
18). Tetapi ayah itu yang setiap kali pergi kejalan, dengan tatapan terpusat,
melihat ke kejauhan jika ada orang yang pulang. Tetapi sering sekali dia
kecewa, pulang dengan lemas, tergeletak ditempat tidur dengan pikiran
menerawang, dengan cemas tetapi tetap berharap anaknya pulang. Sering kali dia
pergi hanya untuk kecewa lagi.
Suatu
petang ada orang yang pulang, dengan langkah gontai dan lemas, berpakaian lusuh
dan nyaris tak kenal lagi. Sudah kurus oleh karena ditimpa kelaparan yang
panjang, tapi raut wajah itu sepertinya masih kenal dan gerak langkahnya menggugah
ingatan, sedikit ragu dan menajamkan penglihatan dan akhirnya dia dapat
memastikan … anakku telah pulang. “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah
melihatnya, maka tergeraklah hatinya oleh belas kasihan (ayat 20). Sang ayah
menemukan anaknya (kembali) seolah telah mendapat segalanya. Ayah berlari
mendapatkan anaknya.
Bagi
orang Yahudi seorang yang terhormat berlari adalah hal yang sangat memalukan.
Dengan kondisi jalan kotor dan berdebu maka berlari adalah sesuatu hal yang
tidak mungkin kerena akan mengotori dirinya. Selain itu kebiasaan dalam adat
Yahudi yang menjaga teguh pengamalan Hukum Taurat berlari adalah tindakan
mempermalukan diri sendiri, bahkan jika turun hujan sekalipun seorang Yahudi
akan tetap jalan seperti apa adanya. Tapi ayah tidak menghiraukan rasa
hormatnya, memilih untuk mempermalukan dirinya sendiri di depan orang banyak
untuk seorang anak yang telah menghabiskan setengah harta keluarga hanya untuk
foya-foya.
Hati ayahnya
tergerak oleh belas
kasihan,
ketika melihat anaknya tidak seperti yang dimaksudkannya. Keinginan anaknya
untuk pergi telah membuat dia terhilang. Ayah tahu bahwa jika anaknya jauh
darinya kelak dia tidak berarti apa-apa. Tapi ayah tak kuasa menolak permintaan
anaknya yang ingin pergi. Ayah membiarkannya dengan harapan suatu hari …
anaknya menyadari bahwa dia membutuhkan ayahnya. Kasih yang tulus dari bapa
bisa tidak berarti apa-apa jika yang dikasihi menolak untuk dikasihi. Ayahnya
sakit mengerang, ia mau mengasihi tetapi tidak tahu harus mengasihi siapa.
Anaknya memilih untuk pergi.
Seiring waktu berputar kasih akan anak
memuncak menjadi suatu kerinduan yang dalam akan kembalinya anaknya. Kasih itu
semakin hari semakin memuncak dan menjadi belas kasihan. Belas kasihan yang
lahir dari rasa rindu yang dalam dan lama terpendam. Dia melihat pilihan
anaknya dalam ketidaktahuannya, membuat dia menderita. Namun ayah tak dapat
berbuat apa-apa selain menunggu dan menunggu.
Seperti
ayah, Allah memendam kerinduan yang dalam dan lama kepada manusia. Menanti
dengan tekun agar kita mau kembali. Allah berbelas kasihan karena kita telah
menentukan pilihan untuk berdosa. Dia melihat kita menjadi asing karena dosa.
Rupa dan Gambar Allah yang ada pada kita telah tercoreng moreng. Dia ingin
merajut kembali raut wajah suram manusia yang kusam tanpa arti. Ia masih ingat
bagaimana ciptaanNya dahulu … rupa Allah tersimpan dalam setiap wajah manusia. Allah
tidak pernah membiarkan manusia, Dia tidak pernah berdiam diri, tetapi selalu
berpikir, bagaimana caranya manusia kembali kepangkuannya. Seperti yang
dikatakan Nabi Yesaya, :
“Oleh karena Sion aku tidak dapat berdiam diri, dan oleh karena
Yerusalem aku tidak akan tinggal tenang, sampai kebenarannya bersinar seperti cahaya dan keselamatannya
menyala seperti suluh”. (Yes 62:1)
Kasih yang menembus batas-batas
Dalam
adat-istiadat orang Yahudi, yang telah turun-temurun, Babi adalah binatang yang
najis jika di sentuh. Setiap orang yang bersentuhan dengan Babi akan menjadi
najis sampai hari terbenam (Im 11). Bahkan perkakas yang kena dengan bangkai Babi harus
dipecahkan dan dibuang (Imamat
11:33).
Pada perkembangan selanjutnya sejarah Israel
mencatat di zaman Nabi Yesaya, bahwa orang yang memakan Babi, Allah berfirman,
“Mereka yang
menguduskan dan mentahirkan dirinya untuk taman-taman dewa, dengan mengikuti
seseorang yang ada di tengah-tengahnya, yang memakan daging babi dan binatang-binatang jijik serta
tikus, mereka semuanya akan lenyap sekaligus, demikianlah firman TUHAN. (Yes
66:17).
Orang yang bersentuhan dengan Babi, bukan hanya najis sampai matahari
terbenam, tetapi Allah sendiri yang akan melenyapkan orang tersebut dari muka
bumi.
Namun
bagi ayah ini, setelah melakukan tindakan tak lazim untuk berlari menyonsong
anaknya, kembali melakukan hal yang tak terduga. Anaknya yang bau busuk, najis
dan menjijikkan, lama berkutat dikandang babi yang menajiskan dirinya, tak
terurus, dirangkul dan dicium. Rasa rindu dan kasih abadi telah menembus batas-batas
kewajaran yang dapat dibayangkan dengan akal sehat. Ayah ini tidak
memperdulikan rasa hormatnya, bahkan tidak peduli, jika dengan memeluk anaknya,
dia akan menjadi najis dan seharusnya dilenyapkan.
Sang ayah telah menemukan kembali harta yang
paling berharga, anaknya yang telah mati hidup kembali. Tak ada sukacita
melebihi sukacita seperti itu. Kasih abadi memang tidak memperdulikan apakah
dengan mengasihi, dia sendiri akan menderita, bahkan mati. Ayah ini, dengan
tulus hati, dengan Kasih yang melimpah, bahkan memberi tubuhnya menjadi sasaran
tembak, untuk menyatakan Kasihnya kepada anaknya yang terhilang.
Itulah Allah kita, melalui Yesus, Dia memberi
tubuhnya sendiri menjadi sasaran upah dosa,dan membiarkan diri ditindas, hanya
karena satu alasan, Karena Dia adalah Kasih itu sendiri.
Tetapi sesungguhnya, penyakit
kitalah yang ditanggungnya, dan kesengsaraan kita yang dipikulnya, padahal kita
mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah. Tetapi dia tertikam oleh
karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran
yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh
bilur-bilurnya kita menjadi sembuh. Kita sekalian sesat seperti domba,
masing-masing kita mengambil jalannya sendiri, tetapi TUHAN telah menimpakan
kepadanya kejahatan kita sekalian. Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri
ditindas dan tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke
pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan orang-orang yang
menggunting bulunya, ia tidak membuka mulutnya. Sesudah penahanan dan
penghukuman ia terambil, dan tentang nasibnya siapakah yang memikirkannya?
Sungguh, ia terputus dari negeri orang-orang hidup, dan karena pemberontakan
umat-Ku ia kena tulah. Yes 53 ; 4 -8
Dari
adengan rangkulan dan ciuman itu Ayah masih dengan kuat merangkul, mencium pipi
dengan gemas, anaknya mencoba menuturkan kata-kata yang telah disusun dan
dilafalkannya. “Ayah” ... kemudian dia berhenti … ciuman ayahnya mengganggunya
untuk menuturkan kata-katanya ... “aku telah berdosa terhadap sorga dan
terhadap Bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa”. Belum semua diungkapkan,
kata-kata yang dilafalkannya dahulu, tetapi ayahnya seolah tidak mendengar … tidak
menghiraukan apa kata anaknya … malah… ”Lekaslah bawa kemari jubah yang
terbaik, … kenakanlah cincin, … dan sepatu. “ Lalu ayah melanjutkan … dan anaknya
masih dalam pelukan, dia menoleh kekiri dan kekanan, memanggil
hamba-hambanya….” Ambillah anak lembu tambun itu … mari makan dan
bersukacita”.
Seperti
bapa yang rindu akan anakNya, demikian kerinduan Allah untuk kita. Disana di
sorga semua malaikat sudah siap dengan semua alat musiknya. “Demikian akan ada
sukacita pada Malaikat-malaikat Allah di sorga karena satu orang berdosa yang
bertobat” kata Yesus (Luk 15 ; 10). Ketika seorang memutuskan untuk kembali
maka semua alat musik itu akan berbunyi serentak. Mari bersukacita kata mereka.
Apa
yang kita lihat, Ayahnya tidak menghiraukan permintaan maaf anaknya.
Seolah-olah dia berkata, “Semua sudah diampuni”. “Nak tidak usah ucapkan
semuanya, ayah sudah tahu tapi sudahlah”. Ayahnya tidak berkotbah, “nak
mudah-mudahan kamu bisa belajar dari kesalahan ini”. Itulah Allah yang selalu menanti kita,
tangganNya selalu terulur dan selalu ada pengampunan. Dia tidak menghitung
kesalahan yang kita lakukan, tetapi dengan murah hati mengampuni lalu
melupakan. Dia tidak melihat sejauh mana kita pergi tetapi sejauh mana kita mau
kembali. Dia tidak melihat sejauh mana kita memberontak, tapi sejauh mana kita
mau mengaku dosa kita.
Dari
sudut pandang manusia, babi telah lebih berharga daripada kita. Tapi dari
kacamata Allah kita adalah mutiara yang sangat berharga dimataNya. Kita dalah
puisiNya, ciptaanNya, kebanggaanNya, karyaNya. Tak kala mataNya tertuju kepada
manusia yang berdosa, hatiNya tertusuk dalam oleh anak panah dosa, tetapi Dia
ingat ketika menciptakan manusia, seolah hatiNya melompat kegirangan, “sungguh
amat baik” (Kej 1;31). Dia tidak lupa dengan rupa dan gambarNya sendiri, ketika
melihat manusia, rupa dan gambar Allah, tercoreng moreng, cerminan wajahNya,
hatiNya pilu oleh kepedihan mendalam. Karena itu Dia tidak pernah berhenti,
dengan hati gelisah mencari cara agar rupa dan gambarNya berada bersamaNya,
terukir kembali dan layak untuk dibanggakan.
Kita
dari yang tidak berharga, dari kandang babi dimahkotai dengan kemuliaan dan
hormat. Bapa yang memilih untuk tidak menghiraukan harga diri sendiri, mencium
dengan erat dengan kasih Illahi dari sang pencipta, hanya dengan satu alasan
“anakku engkau sungguh berharga”. Dan
inilah alasanNya untuk lahir dikandang domba ditempat dimana kita berkubang,
kita … dosa kita adalah alasan perjalananNya ke dunia. Dan disana dipusat
masalahnya yaitu dosa kita, Dia menyerahkan nyawaNya. Jika kita bertanya sejauh
mana Engkau mengasihi aku ya Allah, tangan-NYA yang berlobang, bekas paku,
tidak pernah bisa bohong.
Jubah, Cincin dan Sepatu
Untuk merayakan anaknya yang telah
kembali Ayah ini mengundang semua tetangga untuk merayakan kembalinya si Anak
Hilang. Ayah ini dengan sukacitanya mengungkapkan kegembiraannya dengan pesta. “Anakku ini
telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. (Ayat 24).
Jubah adalah tanda kehormatan dan
jabatan (Ezra 3; 10). Untuk anak bungsu ini Ayahnya memberikan jubah yang
terbaik sebagai bukti bahwa kehormatannya telah dipulihakan dalam keluarga.
Cincin merupakan tanda kedudukan dan
otoritas (Ester 3 ; 10) sebagai anak dalam keluarga. Ketika anak ini pergi status
dan kedudukan anak ini telah dia lepaskan sendiri dengan memberontak kepada
Ayahnya. Mengenakan cincin kepada Anaknya adalah sebagai Bukti bahwa kedudukan
anaknya telah dikembalikan seperti semula. Padahal anak bungsu ini ketika mau
kembali tidak berharap hak dan kedudukannya dipulihkan, hanya berharap sebagai
salah seorang anak upahan saja.
Ayah mengenakan sepatu. Budak dan
orang upahan tidak mengenakan sepatu. Sepatu hanya dikenakan oleh tuan. Ayah
ini mengenakan sepatu kepada anaknya sebagai buti bahwa Anak ini bukan orang
upahan dirumahnya sendiri. Dia adalah anak, yang semua hak, otoritas dan
statusnya telah dipulihkan ketika Dia mau kembali kepada ayahnya.
Anak Sulung itu bernama Pelayan
Anak Sulung yang kesehariaanya
adalah bekerja di ladang ayahnya. Setelah sepanjang hari dia bekerja,
terpanggang oleh terik matahari dalam keadaan lelah dan gerah dia kembali dari
ladang. Sesuatu yang berbeda terjadi sore itu, ada ribut-ribut, terdengar suara
gaduh mewarnai rumah mereka. Ia yang dalam keadaan lelah dan lapar tentu mudah
tersulut emosi. Ia juga barangkali mengenakan baju untuk keladang, bukan baju
bagus yang biasa digunakan untuk acara resmi. Ia juga lusuh seperti anak
bungsu, tapi ia baru dari ladang bukan dari foya-foya bersama pelacur.
Anak sulung tidak langsung menuju
rumah, kakinya berhenti oleh suara riuh dari rumah. Ia sebenarnya ingin
beristirahat setelah seharian lelah. Tapi suasana rumah tidak mengizinkan oleh
pesta tak lazim. Ia memanggil hambanya dan bertanya ada apa gerangan. Adikmu
telah kembali … (ayat
26). Membayangkan
adiknya yang dahulu telah memberontak dengan meminta yang menjadi haknya
sebelum waktunya, kegeraman hati yang telah lama tersimpan terkuak kembali.
Selanjutnya masih cerita hamba itu … “ayahmu telah menyembelih lembu tambun”.
Respon dari ayah terhadap anak
bungsu yang memberontak menjadi pemicu kemarahan yang dalam bagi anak sulung (ayat 28). Bagaimana mungkin
untuk pemberontak di potong lembu tambun yang nyatanya dia pelihara sendiri.
Anak sulung bukan hanya marah tetapi juga merajuk. Dia tidak mau masuk. Padahal
pesta itu adalah pesta untuk adiknya. Sebagai anak sulung dan kakak seharusnya
dia ada disana memberi selamat pada adiknya yang telah kembali. Tapi dia tidak
melakukannya. Dia berpikir, dia ini … “adiknya” lebih pantas untuk diusir dan
dihukum daripada dirayakan dengan lembu tambun. Kasih kepada adiknya telah lama
terkikis habis oleh amarah dan kebencian bertumpuk selama adiknya pergi yang
menghabiskan setengah harta keluarga. Ayahnya yang keluar untuk membujuk diapun
tidak di indahkannya.
Anak Sulung : Pelayan yang mengharapkan
Apresiasi
Secara
sekilas siapakah yang seharusnya lebih layak di berikan penghargaan diantara
anak sulung atau anak bungsu? Barangkali anak sulung lebih pantas! Atau
barangkali Injil ini salah tulis? Atau sang ayah tidak tahu bagaimana
menghargai hasil kerja seseorang? Bukankah anak sulung telah melayani selama
bertahun-tahun? Bukan hanya itu, dia juga tidak pernah melanggar perintah
ayahnya (ayat 29). Suatu perilaku
anak yang layak untuk diteladani. Boleh dikatakan jika moralitas menjadi acuan,
anak sulunglah seharusnya yang lebih layak untuk dapat jubah, cincin dan
sepatu. Bukankah demikian?
Ada
beberapa hal yang perlu kita cermati dari respon anak sulung sebelum kita
mengambil kesimpulan. Pertama, anak sulung melayani ayahnya bukan
atas dasar kebebasan. Seperti anak bungsu yang tidak bebas dari intervensi sang
ayah selama di rumah, anak sulung inipun juga tidak bebas dari dirinya sendiri
untuk mendapatkan Apresiasi (penghargaan) dari ayahnya. Sejak anak bungsu pergi
dan “bebas” sampai kembali
lagi, anak sulung ini masih belum juga bebas, dia masih mengharapkan
penghargaan dari ayahnya. Dia mengenakan kuk kepada dirinya sendiri berupa
harapan penghormatan semu, dan itulah yang mendorong dia untuk melakukan segala
sesuatu termasuk untuk tetap taat kepada ayahnya. Dia bukanlah orang merdeka
tetapi orang tawanan keinginannya sendiri.
Kedua, anak sulung ini
berlaku seperti orang upahan ayahnya dirumahnya. Kalau dirumahnya ada gaji yang
yang diterima hamba ayahnya, diapun mengharapkan sesuatu dari pelayanan yang
dia berikan. Padahal semua
kepunyaan ayahnya adalah kepunyaannya juga (ayat 31). Tetapi dia merasa tidak
memilikinya. Dia kehilangan makna “kebersamaan” dengan sang ayah dan
mengharapkan seekor kambing, Dia benar-benar kehilangan identitas sebagai anak
ayahnya. Jhon Stott dalam bukunya Kotbah dibukit berkata “Identitas kita sebagai anak Allah telah kita
hilangkan, dengan sengaja, untuk memperebutkan segenggam kekuasaan dan secomot
harta”. Anak sulung masih “mematuhi” ayahnya karena barangkali mengharapkan
lembu, tetapi pada saat itu kambingpun belum dia terima. Anak sulung
menggambarkan potret kita sebagai pelayan dizaman ini yang mengharapkan
kelinci-kelinci sebagai upah dari pelayanan yang kita berikan.
Ketiga, anak sulung
didorong oleh keinginan sendiri dan berpusat kepada diri sendiri. Telah
bertahun-tahun “aku” … dan belum
pernah “aku” melanggar perintah … tetapi kepada “ku” belum pernah bapa memberikan seekor
kambing untuk bersukacita dengan teman-teman “ku” (ayat 29). Pelayanan yang dilakukannya didorong oleh
motivasi untuk membesarkan diri sendiri dan tidak berhenti sampai mendapatkan
apa yang diinginkannya. Oleh karena itulah barangkali Paulus dalam suratnya
kepada Timotius memperingatkan “Sebab
itu, hai anakku, jadilah kuat oleh kasih karunia dalam Kristus Yesus (II Tim 2
; 1). Betapa riskannya melayani yang berpusat pada diri sendiri dan di dorong
oleh kerinduan mendapat penghargaan dan untuk menjadi besar, didorong oleh
motivasi aktualisasi diri, bukan kuat oleh kasih karunia Allah yang pada
akhirnya melahirkan kelemahlembutan dan kerelaan. Anak sulung ketika tidak
mendapatkannya, kehilangan motivasi dan arah, melayani dan menuruti kehendak
bapanya bukan lagi sesuatu yang menyenangkan untuk dilakukan dalam
kesehariannya. Dia merajuk … merajuk didalam kepatuhan.
Berpijak pada moralitas
Menarik
dari cerita ini bahwa anak sulung tidak pernah melanggar perintah ayahnya, tetapi
selalu menurutinya (ayat
29).
Dia berusaha untuk tampil baik, selalu ingin diterima, disukai dan menjadi
“teladan” … juga untuk adiknya yang memberontak. Tetapi tanpa disadari dia
sudah terjebak intensitas moralitas yang serius, dan bahkan sentuhan fanatisme
moral (Farisi moral?), yang akhirnya membuat dia semakin sukar menikmati
suasana bebas dan merasa betah di rumah bapanya. Ketidakbebasan itu telah
membuat dia tersiksa dan melahirkan dendam mengakar pada sang adik yang dia
pikirkan telah bebas.
Dalam
kitab Injil sering sekali Yesus mencela orang-orang yang mengandalkan
moralitas. Dalam Lukas 18 ; 9-14 secara khusus di paparkan bagaimana tanggapan
Allah terhadap orang yang menganggap dirinya benar dengan orang yang untuk
menengadah ke langit pun tidak sanggup.
Siapakah orang yang dibenarkan Allah? Perikop ini mencatat yang
dibenarkan adalah orang mengakui bahwa dia berdosa. Tradisi Farisi yang
memegang dengan ketat hukum taurat, yang pada zaman Musa hanya 10 kemudian
dipaparkan menjadi sekitar 360 hukum. Tidak boleh mengingini diterjemahkan
menjadi tidak boleh melihat dll, justru mendapat kecaman dari Yesus sendiri.
Kenapa
moralitas tidak mendapat tempat? Ini berkaitan dengan tujuan hidup itu sendiri.
Anak sulung jauh dilubuk hatinya yang paling dalam mempunyai tujuan yang
sebenarnya tidak berkenan seperti yang sudah dicatat diatas. Disadari atau
tidak dia sedang membohongi dirinya sendiri dibalik pelayanan dan “ketulusan”
yang dia lakukan. Dia rajin memelihara azas-azas yang dia tetapkan sendiri untuk
tujuan hidup sendiri. Tidak ada seorangpun yang dibenarkan oleh karena
melakukan hukum Taurat, kata Paulus dalam Gal.2;17. Anak sulung berusaha
menaati segala sesuatunya untuk mengharapkan pembena-ran (legalisme) bagi
penurutannya, padahal tidak seorangpun dibenarkan oleh karenanya. Mengharapkan
penghargaan dari “prestasi” moralitas benar-benar menyakitkan hati Allah. Kasih
Karunia kata Philip Yancey “berarti tidak ada yang dapat kita lakukan agar
Allah lebih mengasihi kita”. Dia adalah kasih itu sendiri.
Lalu
dimanakah letak moralitas dalam kehidupan Kristen? Moralitas mempunyai tempat
jika dilakukan untuk tujuan memperluas kerajaan Allah di dunia. Moralitas
adalah wujud tanggung-jawab sebagai orang Kristen yang lahir dari kesadaran
bahwa kita adalah surat-surat Kristus yang akan dibaca oleh semua orang, bukan
menjadi ajang perlombaan dan bahan perbandingan dengan orang lain. Dia bebas,
tidak terikat oleh suatu apapun. Dimana ada ketaatan disana juga harus ada
kebebasan, kalau tidak dia hanya belenggu yang akhirnya melahirkan kelelahan.
Perbedaan yang saya lihat
Perbedaan
yang kontras diantara kedua anak ini sangat jelas yang menunjukkan siapa mereka
dihadapan Allah. Anak bungsu rindu untuk pulang, sementara anak sulung ingin
meninggalkan rumah. Anak bungsu datang dengan kepala tertunduk, anak sulung
selalu menepuk dada dan berkata bahwa dia adalah yang terbaik dan selalu
mengharapkan pengakuan untuk dapat dikatakan sebagai orang “rohani”.
Anak
bungsu tidak sulit untuk mau kembali. Dia sadar dia tidak punya pijakan memadai
untuk dikatakan anak baik. Dia tidak punya apa-apa yang bisa diandalkan untuk
kebanggaan rohani. Jika dibandingkan dengan anak sulung, dia telah gagal. Dia
hanya berharap dan bersandar penuh kepada Kasih Karunia yaitu pengampunan
sempurna dari sang ayah. Yang dia tahu hanya “aku telah terbuang dan hampir
mati”. Dia rindu pulang dan berharap untuk menjadi hamba ayahnya bukan sebagai
anak (ayat 19). Dia berhasil … dia mendapatkan jubah, cincin dan sepatu (ayat
22).
Anak
sulung yang sibuk untuk membandingkan dirinya dengan adiknya yang tidak
“bertanggungjawab”, tidak bisa melihat kebenaran dalam dirinya. Dia merasa
paling benar yang tanpa dia sadari ketika dia berkata bahwa saya selalu
menuruti perintah bapa, pada saat itu juga dia sedang mempertontonkan
pembangkangan hebat atas ajakan ayahnya untuk masuk. Anak sulung tidak belajar
dari ayahnya yang memberi pengampunan. “Tetapi padaMu ada pengampunan, supaya
Engkau ditakuti orang”, kata Daud (Maz
130 ; 4). Ayah memberi pengampunan sekaligus kesembuhan bagi anak bungsu, anak
sulung membuka luka lama dan menciptakan luka baru bagi adiknya dan juga
ayahnya sekaligus untuk dirinya sendiri. Menolak memberi pengampunan pada
adiknya berarti secara tidak langsung dia berkata bahwa adiknya tidak layak diampuni
sekaligus mempersalahkan tindakan ayahnya.
Anak
sulung yang dipenuhi dengan kebencian, sangat sulit untuk diajak pulang kerumah
(ayat 28), dia menolak ajakan ayahnya. Dia dipenuhi dengan ilalang keinginan
yang telah menjadi belukar, sulit dibidik dengan tepat untuk mengerti bahwa dia
juga dikasihi oleh ayahnya. Pulang dari petualangan hawa nafsu, pelacuran, dan
hal-hal menjijikkan tampaknya jauh lebih mudah daripada pulang dari kemarahan
dingin dan mengakar dari anak sulung yang sibuk dengan moralitas yang tidak
bebas itu.
Dalam
Film “Future Tense” ada sebuah kalimat
yang menarik bagi saya. Diakhir film itu ada kalimat yang berkata begini
“Orang-orang besar didunia sangat sulit untuk diajak (pulang) maka ajaklah
orang-orang kecil”. Orang besar sibuk dengan dunianya, orang kecil …. tidak
mempunyai sesuatu yang berharga untuk ditinggalkan. Dari kalimat film itu aku
berpikir dan memahami apa arti ucapan bahagia dalam “Kotbah di Bukit”
Berbahagialah orang yang miskin dihadapan Allah … (Mat 5;3). Saya kira Yesus
benar, berbahagialah orang yang “dikandang babi” karena dia rindu untuk pulang,
“Karena mereka yang empunya kerajaan Sorga” kata Yesus selanjutnya. Sebaliknya
celakalah orang yang tidak menyadari bahwa dia ada dikandang babi dan celakalah
orang yang ingin menjadi “besar”.
Kita
dan Anak Sulung
Jika
aku harus memilih seperti apakah yang saya inginkan dari sikap saya kepada
Allah dari kedua anak ini? Saya rasa tidak sulit, saya memilih menjadi anak
bungsu daripada anak sulung. Anak bungsu mau merajut kembali keping-keping
kehidupannya yang telah hilang. Dia ingat ayahnya, dan benar-benar bersandar
pada pengampunan.
Kita
lebih sering menjadi anak sulung, bukan meninggalkan “kandang babi” tetapi
justru menuju kesana. Sering kehilangan identitas dan tuli terhadap Allah oleh
kemerduan senandung dunia. Sering kehilangan motivasi dan arah karena tujuan
hampa. Dari anak sulung kita boleh bercermin, sejauh pelayanan itu tidak untuk
kemuliaan Allah maka pada titik tertentu kita akan melihat pelayan-pelayan yang
merajuk karena kecewa
kepada diri sendiri, lingkungannya dan juga kepada Allah. Jika dahulu Allah
mengeluh .. Israel oh Israel .. Sekarang barangkali ..teriakan itu diarahkan
kepada Gereja yang didalamnya kita ada sebagai seorang pelayan .. anak sulung oh
anak sulung … pelayan oh pelayan.
Poltak Marbun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar