Selasa, 07 September 2010

Etika


Penting …
untuk hidup seperti yang Tuhan inginkan …
tapi yang tidak kalah penting adalah …..
untuk tidak memaksakan hal yang sama kepada orang lain…
…….Tony Campolo ……..

Pengantar
Ketika saya sharing dengan salah seorang pengurus tentang Thema-thema Kebaktian dan Pengisian pada semester ini, tersebutlah satu Thema Pengisian tentang “Etika”. Sontak saya mengatakan, “lha kenapa “Etika”? Sebenarnya tidak ada yang salah dengan topik tersebut, hanya ada kegalauan dalam diri saya sendiri tentang Thema tersebut.
Kegalauan itu lahir dari seringnya terlihat dari defenisi (pemahaman) kita yang berbeda tentang apa “Etika” dan apa “Moral”. Kerancuan ini melahirkan pula penerapan yang salah. Maka ada baiknya bahasan ini harus kita awali dari defenisi dari kedua kata ini.
Defenisi
1. Etika
Etika disebut juga filsafat moral (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") merupakan cabang filsafat yang berbicara tentang tindakan manusia. Etika adalah filsafat moral, atau ilmu yang membahas dan mengkaji secara kritis persoalan benar dan salah secara moral, tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi konkret.
Etika tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak. Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma, diantaranya norma hukum, norma moral, norma agama dan norma sopan santun. Norma hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan, norma agama berasal dari agama, norma moral berasal dari suara hati dan norma sopan santun berasal dari kehidupan sehari-hari
2. Moral
Moral berasal dari bahasa latin yakni “mores” kata jamak dari “mos” yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Sedangkan moral adalah sesuai dengan ide-ide yang umum diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan mana yang wajar.
Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu.
Moral adalah nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik. Moral adalah produk dari budaya dan Agama
Jadi jelas sekali, Etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan “ukuran”, “etika” menjelaskan ukuran itu.
Filsafat Etika
Immanuel Kant-salah satu Filsuf Jerman terkemuka percaya bahwa moralitas / etika pada dasarnya lebih merupakan keyakinan dan sikap batin, bukan sekedar penyesuaian atas segala macam aturan dari luar seperti adat-istiadat, hukum, dan agama. Dalam ungkapan modern, Kant memastikan bahwa kriteria mutu moral, juga dihadapan Tuhan adalah kesetiaan pada suara hati. Maka dalam kaitan ini setiap orang berkewajiban mengikuti suara hatinya. Disinilah Kant menemukan otonomi dalam moralitas. Karena itu, memaksakan sikap atau standart moral kepada seseorang justru akan merendahkan martabat manusia sebagai mahluk bermoral”.
Dalam Bukunya tentang ”‘Etika” Bonhoeffer mengatakan, “Kunci dalam mengikut Yesus adalah ketaatan, tetapi tentang etika kristiani, kita berbicara tentang kebebasan”. Kebebasan adalah tanda dan ungkapan martabat manusia. Karena kebebasan itu, manusia menjadi mahluk yang otonom, yang menentukan diri sendiri, dan dapat menetukan pilihannya sendiri. Setiap pemaksaan adalah merupakan sesuatu yang buruk, menyakitkan dan juga menghina. Frans Magnis Suseno menambahkan : “Memaksakan sesuatu kehendak kepada orang lain berarti mengabaikan martabatnya sebagai manusia yang mampu untuk mengambil sikapnya sendiri.
Manusia mau tidak mau harus menentukan sendiri bagaimana dia harus bersikap terhadap kehidupannya. Oleh karena seluruh realitas secara potensial mempengaruhinya, ia membutuhkan pengetahuan selengkap-lengkapnya dan setepat-tepatnya tentang seluruh realitas itu. Manusia hanya dapat hidup dengan baik apabila dia menanggapi realitas seadanya, oleh sebab itu ia harus mengetahuinya. Disana terletak tugas kita, memberi tahu seseorang bagaimana dia seharusnya hidup sebagai manusia, bukan menuntutnya tentang moralitas. Kant menambahkan “Tidak ada yang lebih mengerikan daripada tindakan seseorang yang harus tunduk pada kehendak pihak lain”. Dengan mempercayakan pertanggungjawaban moral kepada suara hati (praktische Vernunft) seseorang, berarti kita memberi kesempatan kepadanya bahwa dia mengakui kehadiran Tuhan dalam hidupnya.
Penilaian Manusia
Jika kita menilai sikap seseorang, kita biasanya bertolak dari kelakuannya yang dapat kita lihat dengan kasat mata. Misalnya bersikap sopan, hormat, rajin ikut kegiatan rohani, saat teduh dll. Semuanya itu baik dan terpuji. Namun untuk dapat mengambil kesimpulan bahwa seseorang baik atau tidak, tidak cukup dari apa yang kita lihat secara lahiriah, melainkan motivasi atau maksud apa yang mendasarinya.
Sebagia contoh, seseorang rajin Saat Teduh, tidak boleh serta merta kita katakan bahwa dia baik atau bertumbuh, tetapi tidak tahu motivasi yang mendasarinya. Jika kesadaran itu lahir dari pengertian dan pengenalan yang benar akan Allah, maka akan melahirkan karakter yang baik yang merindukan kehadiran Allah dalam hidupnya. Namun tindakan yang sama (rajin saat teduh) tidak boleh kita katakan baik, jika motivasi yang mendasarinya adalah hanya karena takut di evaluasi oleh pemimpinnya. Demikian juga ketika seseorang melakukan hal-hal yang buruk menurut ukuran kita, kita tidak boleh mengambil kesimpulan bahwa orang tersebut buruk.
Maka tindakan-tindakan lahiriah tidak boleh menjadi dasar kita untuk mengambil kesimpulan bahwa seseorang itu baik atau buruk. Hanya Tuhanlah yang dapat menilainya. Meminjam perkataan Frans Magnis Suseno : “Orang yang tahu diri dihadapan Tuhan, tidak akan berani menjatuhkan suatu penilaian yang hanya dapat diberikan Tuhan yang mengenal hati manusia sedalam-dalamnya.”
Dalam hal inilah relevansi Thema tentang “Etika”, menjadi sesuatu yang menurut saya kurang tepat. Sebab dalam konteks apakah ini diberikan? Menyangkut pertumbuhan atau menyangkut kepada pengetahuan sebagai Filsafat Ilmu? Sebab sesuai dengan penjelasan beberapa filsuf diatas, baik oleh Immanuel Kant yang berbicara bahwa Etika adalah otonom, atau Bonhoeffer yang berbicara tentang kebebasan, sulit mengatakan thema ini menjadi sesuatu kebutuhan. Jika mengacu kepada pengertian Etika sebagai Filsafat, tentunya Thema ini berbicara tentang Filsafat moral. Jika berbicara mengenai moral sebagai tatanan sosial, tentunya thema ini bukanlah berbicata tentang Etika.
Sebuah opini
Bagi agama Yahudi, kita menemukan bahwa Moralitas adalah tingkat tertinggi dalam pengamalan keagamaan. Tidak salah, mereka menjadi ganas dan kejam bagi sesamanya. Di zaman-Nya Farisi menjadi cemoohan Tuhan Yesus sendiri. Dalam Injil Yohanes 8 dikisahkan seorang wanita yang kedapatan berbuat zinah, orang Farisi berkata, “Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian” (Yoh 8 ; 5). Namun jawaban Tuhan Yesus sungguh menohok dan menikam tepat dijantung mereka, sehingga tidak dapat berkata satu patah kata pun, dari yang lantang berteriak, jadi membisu dan undur diri. "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu."(Yoh 8;7), jawab Tuhan Yesus.
Dari kisah ini menyisakan renungan bagi kita, seandainya seseorang yang kita anggap kurang bermoral itu kita hadapkan kepada Tuhan Yesus, apa kira-kira tanggapan Yesus? Adakah kita akan mendapati seperti Kisah diatas, Tuhan Yesus menaburkan lautan Kasih Karunia kepada pelacur ini? Sementara kita yang sibuk dan ribut dengan moralitas seseorang akan terdiam seribu bahasa lalu undur diri karena malu? Jawaban Yesus jelas, "Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." (Yoh 8 ; 11).
Lalu kenapa Yesus memberi pengampunan, sementara kita yang mengaku pengikutnya berbeda? Kenapa kita yang menentukan standart moralitas bagi seseorang? Betapa kita memang menampilkan sosok yang berbeda dari sikap sebagai pengikut Kristus. Ketika Yesus memberi pengampunan, kita nyata-nyata memberi hukuman.
Dari dalam keluar
Mengharapkan perubahan seseorang dengan memaksakan standart etika sebenarnya adalah sikap meletakkan “kuk” pada seseorang terhadap azas-azas yang kita tentukan sendiri untuk dipikul oleh orang lain. Seperti menjinakkan seekor kuda liar, justru kita yang akan terpental. Maka perubahan itu harus datang dari dalam keluar. Moralias adalah output dari pembaruan hati. Hati yang baru adalah buah dari pembaruan Roh. Oleh sebab itulah, fokus kita sebenarnya adalah, apakah seseorang sudah dibaharui Roh nya oleh Injil Kasih Karunia Allah?
Dalam istilah pembinaan yang sering kita dengar “kognitif ----> Afektif -----> psikomotorik. Psikomotorik lahir dari kognitif. Maka kalau kita mengharapkan Psikomotorik lebih duluan, maka itu adalah sebuah keterbalikan, sebuah pemaksaan dari luar ke dalam, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa, selain luka dan pemberontakan.
Etika Kristen
Seorang Theolog Jerman bernama Dietrich Bonhoeffer (1906-1945) berkata “Etika Kristen bukanlah berarti suatu gagasan, satu asas, satu program, satu hukum atau satu dalil yang berlaku universal. Etika Kristen didefinisikan sebagai usaha yang berani untuk berbicara tentang cara melalui mana bentuk Yesus Kristus menjadi nyata dalam dunia kita”.
Tidak pernah tertulis bahwa Allah menjadi suatu gagasan, satu asas, satu program, satu hukum atau satu dalil yang berlaku universal, tetapi bahwa Allah menjadi manusia. Sebenarnya etika Kristen berarti orang dijadikan seperti Kristus yang telah menjadi daging, disalib dan bangkit dan yang ingin mewujud dalam semua orang. Gereja adalah tidak lain daripada sebagian dari manusia yang didalammnya Kristus telah menjadi nyata. Dengan demikian etika didefinisikan sebagai usaha yang berani untuk berbicara tentang cara melalui mana bentuk Yesus Kristus menjadi nyata dalam dunia kita.
Dimanakah kita harus meletakkan moralitas dalam kehidupan Kristen? Setiap kita harus menyadari bahwa kita adalah surat-surat Kristus yang harus dibaca oleh setiap orang. Paulus mengatakan dalam suratnya kepada Jemaat di Roma, “Baiklah engkau jangan makan daging atau minum anggur, atau sesuatu yang menjadi batu sandungan untuk saudaramu”. (Roma 14:21). Kesadaran ini penting, karena kita yang mengaku sebagai pengikut Kristus, adalah Kota diatas gunung, yang menjadi patron, suluh, dan teladan moral didalam segala sesuatu.
Membangun Rasa takut kepada Allah
Persoalan moralitas dalam komunitas kita menurut pandangan saya justru sudah sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Dalam beberapa kasus, kita cenderung menjadi Hakim “Etika”, Polisi Moral, atau dalam bahasa Philip Yancey, Farisi Modern. Saya katakan demikian, karena kita meletakkan diri kita pada posisi menghukum atas kegagalan seseorang secara moralitas didalam komunitas kita.
Etika, jika itu adalah sebuah kebenaran, tentunya akan membuat seseorang mengalami kemerdekaan, bukan jadi kuk yang berat, yang sulit untuk dipikul. “kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu", kata Tuhan Yesus, tetapi kita memberi tahu beberapa aturan “etika” seolah-olah itu adalah kebenaran, padahal bukan. “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. (Matius 5:9). Lalu adakah seseorang damai dengan kehadiran kita, ketika kita temukan ternyata gagal dalam moralitas? Atau kita menjadi pribadi yang menghukum?
Disinilah sumbangsih kita barangkali yang tidak menciptakan suasana membangun rasa takut kepada Allah, tetapi lebih cenderung rasa takut kepada sesama, PKK, dan komunitas disekitar kita. Celakanya, ketika seseorang keluar dari komunitas kita, dia malah merasa bebas. Diapun sesuka hatinya melakukan sesuatu karena orang lain tidak melihat. Maka sikap kita yang seolah-olah menghakimi, cenderung hanya membangun rasa takut kepada sesama, bukan rasa takut kepada Allah. Pada akhirnya, kita hanya menghasilkan alumni yang gagal menjadi garam dan terang, ketika kita sudah tidak bersama-sama lagi, tak ada lagi yang mau ditakuti. Allah memang dengan sengaja, kita singkirkan dari kehidupannya, kita gantikan dengan aturan moralitas yang kita terapkan. Orang yang kita anggap pengikut Yesus, ternyata mempermalukan Allah, dan kita mempunyai andil didalamnya. Maka sekali lagi kita harus melihat Kekristenan bukan berbicara dengan ribuan aturan, tetapi limpahan Kasih Karunia Allah.
Dalam pelayanan-Nya Tuhan Yesus, sering sekali Yesus berkata, “Akupun tidak menghukum engkau, pergilah dan jangan berbuat dosa lagi”. Dan ini, amanat agung diperintahkan Yesus pertama kali, sebelum kepada para murid adalah kepada seorang pelacur! Apa yang kita lihat disini adalah, “Pengampunan memberi kesembuhan.” Inilah yang seharusnya kita teladani didalam hidup kita sebagai Kristen, Pengampunan.
Penutup
Sebagai kesimpulan ada beberapa hal yang perlu dicata disini :
1. Perlu bagi kita untuk memahami bahwa Etika sebagai wilayah otonom, karena itu, memaksakan sikap atau standart moral kepada seseorang justru akan merendahkan martabat manusia sebagai mahluk bermoral”.
2. Perlunya usaha-usaha membangun pengertian bagaimana seharusnya hidup dihadapan Tuhan yang didasari pengenalan yang benar akan Allah.
3. Perlunya memberi pengampunan, sebagai usaha membangun rasa takut kepada Allah, bukan kepada sesama.
Akhirnya sambil merenungkan ungkapan Bonhoeffer “Menjadi Kristen bukan berarti menjadi religius secara istimewa, secara metodik, melainkan ikut serta didalam penderitaan Allah didalam hidup kita. Karena memang Yesus memanggil seseorang bukan untuk menjadi religius tetapi untuk hidup baru.


Kepustakaan
1. Suseno, Frans Magnis, Etika Dasar, Penerbit Kanisius,1989
2. Gruchy, John De, Saksi Bagi Kristus, Kumpulan Cuplikan Karya Dietrich Bonhoeffer, PT, BPK, 1993
.



Poltak Marbun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar