Jumat, 03 September 2010

Kasih yang tidak tepat : Sebuah Cerita

Ibu …ibu …begitu teriakan seorang ibu muda setengah baya sambil menangis histeris. Malam itu ditengah bau menyengat suasana Rumah Sakit swasta terkenal, lalu-lalang manusia seperti biasa menghiasi suasana. Di lorong itu, lorong didepan Ruang Intensive Care Unit (ICU), bermacam-macam ekspresi manusia yang bisa disaksikan. Lalu-lintas manusia yang datang dan pergi menambah ramai suasana. Pemandangan yang biasa disaksikan malam itu sebenarnya tidak jauh beda seperti malam-malam yang lain. Ada gelombang manusia yang mengantar saudara yang sakit. Tentu di lorong itu jauh lebih serius, wajah yang bisa dilihat bukanlah senyum atau wajah bahagia. Tetapi lebih cocok dikatakan area wajah ketat dan kening bergulung dan keringat bagai air di atas daun talas di musim hujan, bulat dan besar.
Malam itu ditengah kunjungan singkat untuk menjenguk tetangga yang di rawat diruang ICU, entah berapa kali “tamu-tamu” Rumah Sakit datang dan pergi. Ada yang korban kecelakaan jalan raya, ada yang stroke dan ada yang sakit parah menderita dari macam-macam penyakit dunia. Tangisan dilorong ini memang sudah sangat biasa dan sepertinya sudah akrab ditelinga. Yang kemarin tabrakan sudah pergi. Yang sakit itu sudah tidak ada lagi. Begitu kalimat lazim dilorong ini. Tangisanpun terlihat biasa saja dimana-mana.
Tetapi tangisan ibu muda tadi terasa berbeda dari yang lain. Dengan histerisnya, tanpa peduli apapun, ibu ini meluapkan penyesalan diri yang dalam terhadap kepergian ibu yang sangat dikasihinya. Layaknya cacing diterjang terik planet Mars ibu ini meratap dilantai menumpahkan penyesalan yang mungkin tak pernah lagi dialami sepanjang hidupnya. Ada apa gerangan?
Ditengah keriuhan hebat di lorong itu, terdengar cerita, ibu muda ini tanpa menghiraukan nasihat dokter, menyerah terhadap permintaan ibunya yang meminta diberi minum. Haus…haus begitu teriakan ibu tua yang baru saja dipindah dari ruang operasi ke ruang ICU. Dengan rasa kasihan yang dalam ibu ini tanpa peduli nasihat, memberi minum ibunya yang “kehausan”.Tentu saja dia mencuri-curi kesempatan untuk memberi minum ibunya. Hanya dua sendok makan saja, dan itu sudah cukup ….beberapa saat kemudian ibu tua ini menghembuskan nafas yang terakhir. Ditengah kebingungan yang dalam melihat ibunya sudah tidak bernyawa, … sendok makan masih ditangannya … ibu muda ini berteriak memanggil suster.
Seolah tak peduli keadaan disekitar, atau seperti biasa tangisan itu adalah tangisan biasa, menangisi sanak yang sudah pergi, maka tak perlu ambil pusing. Suasana terasa hening sejenak tak kala seorang suster yang sudah agak tua datang, ibu muda ini memeluk suster seolah sudah kenal dekat. Suster bertanya, ada apa? Ibu … aku bodoh sekali, aku memberi ibu minum, ibu sudah tiada” katanya sambil menangis terisak. Aku bukanlah jurusan Kedokteran yang bisa mengerti bahaya memberi minum orang yang baru dioperasi. Tanpa diberi tahu orang sekitar, barangkali aku tak akan pernah bisa tahu. Tetapi cerita itu cukuplah bagiku untuk bisa belajar kelak jika menemukan kasus serupa.
Orang datang dan pergi, ada yang kehilangan dan menangis ditinggal orang terkasih itu adalah hal biasa. Kita juga suatu saat akan pergi juga dari semesta ini meninggalkan orang yang kita kasihi. Tetapi malam itu terasa beda, dalam perjalanan pulang sesuatu terlintas di pikiranku. Kasih … dalam kondisi yang terdalam pun jika waktu dan tempatnya tidak tepat bisa berakibat fatal.
Di Taman Eden manusia tidak menghiraukan perintah Allah, ia menginginkan sesuatu yang nampaknya lebih baik, akibatnya fatal yaitu kematian. Sarah tidak sabar menantikan anak, dan tertawa kepada Allah yang menjanjikan keturunan, dia punya pendapat dan jalan tersendiri untuk menyuruh suaminya mengambil Hagar agar dia mempunyai keturunan dan yang ada adalah luka. Petrus tidak setuju terhadap pemberitaan Yesus bahwa Anak Manusia harus menderita, dia mempunyai jalan sendiri seperti apa seharusnya Mesias, akhirnya Yesus membentaknya dan berkata “Enyahlah engkau Iblis…engkau tidak tahu maksud Allah”. Saul tidak sabar menantikan imam untuk membakar persembahan dan dia membakar sendiri, akhirnya diapun menderita.
Betapa sering kita mempunyai jalan sendiri dalam kehidupan. Kita ingin menentukan arah, tanpa kita sadari tak kala kita menuju suatu arah, ternyata yang ada adalah salah arah. Kita mengharapkan sesuatu yang sepertinya lebih baik padahal tidak seperti yang kita harapkan.
Sebuah cerita dari negeri seberang tentang seorang misionaris di Amerika Latin. Tak kala tubuhnya tak mampu lagi dia tegakkan. Untuk makan dan minum bahkan buang air saja harus di papah. Lebih dari setengah kehidupannya dia habiskan dalam penderitaan sebagai Missionaris. Nyawanya sering terancam oleh binatang buas dan ganasnya ikan Piranha di sungai Amazon. Ketika dia terbaring menunggu ajal dengan tubuh lemah dia dihampiri oleh para muridnya dan bertanya, “Apa yang paling di syukuri selama dia mengikut Tuhan”. Jawaban yang keluar dari mulutnya bukan seperti jawaban orang pada umumnya. Di lembar iklan sebuah surat kabar sering kita baca “Aku telah mengakhiri pertandingan”. Dengan bangga seseorang mengungkapkan kata-kata seperti itu. Barangkali kata-kata seperti itulah yang diharapkan para murid missionaris ini keluar dari bibirnya yang lemas. Tetapi bukan itu. Aku bersyukur… katanya dengan terbata … “karena tidak semua hal yang kudoakan yang menjadi keinginanku dikabulkan oleh Tuhan”. Diakhir kehidupannya missionaris ini baru menyadari dan memahami apa artinya tunduk kepada kehendak Allah.
Seperti ibu muda di Rumah sakit diatas, sering sekali kita tidak seirama dengan aturan yang ada. Jika ibu muda itu tahu bahaya memberi minum ibunya yang baru dioperasi barangkali dia tidak akan memberikannya. Dan jika dia patuh terhadap aturan dokter barangkali akhir kehidupan ibunya akan lain ceritanya. Tetapi didalam ketidaktahuannya, kasih yang dianggapnya membawa kebaikan justru membawa kecelakaan.
Dalam mengikut Tuhan kita juga sering mengikuti arah pikiran kita daripada duduk di hadirat Allah dan mendengarkan-Nya. Kita terlalu banyak memeras otak menentukan arah jalan hidup kita. Kita juga sering terlalu lambat, tetapi juga tidak jarang terlalu cepat. Irama kita tidak sesuai dengan irama Allah. Maka yang sering terjadi adalah kita sering kecapain menjalani hidup. Hari-hari kita kosong seolah kita ada di dalam keheningan. Didalam keheningan kita mencoba mencari kedamaian yang ternyata sulit juga kita dapatkan.
Dalam kemahatahuan Allah, saya pikir Dia tahu kearah mana kita seharusnya akan melangkah. Maka jika kita memilih kearah yang salah .. barangkali Dia akan terdiam. Mengharap kita cepat-cepat sadar. Dia tidak berbuat apa-apa karena Dia tidak ingin campur tangan didalam kesalahan pilihan yang kita buat. Dan didalam kebisuan Allah itulah barangkali letak kesepian kita. Seorang Teolog berkata, bahwa didalam jiwa kita ada ruang kosong yang hanya bisa diisi oleh sang pencipta. Kebahagiaan dalam hati kita hanya dapat di genapi jika Allah sendiri berada lekat di hati kita. Kita bisa membeli tempat tidur yang empuk, tetapi bukan tidur nyenyak, bisa membeli makan yang lezat tetapi bukan selera makan, bisa membeli segala sesuatu tetapi bukan kedamaian. Bisa menyewa bodyguard tetapi bukan rasa aman. Begitu nasehat orangtua.
Dari kisah diatas kita belajar agar kita mencoba lebih memahami jalan Allah daripada pilihan kita sendiri.

Poltak Marbun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar