Selasa, 07 September 2010

Kisahku di Tuk-tuk Samosir

Sekedar ...
Tak banyak kenangan tercipta
Hanya tutur kata dan senyum sekedar

Sekejap …
Namum engkau telah berdiam sungguh
Bunga … Kuingin tutur kata
Dan senyum sekedar



Malam itu dengan anggun dia melangkah berlawanan arah denganku. Baru saja mereka tiba pada malam ke-2 dari Medan ke tempat dimana kami selama tiga hari berada di Pulau Samosir yang sejuk untuk suatu kegiatan Rohani. Datang bersama seorang temannya yang menjadi pembicara (Speaker), malam pertama itu, mereka tiba sudah agak malam kira-kira jam 19.00 WIB. Acara akan dimulai pukul 19.30 WIB.
Berangkat dari Medan, sepanjang perjalanan karena sudah buru-buru takut terlambat, tidak sempat makan dijalan, sampai di Samosir rasanya sudah kelaparan. Malam itu hanya sejenak tatapan mataku memandangnya, rasanya hatiku berdebar kencang. Temannya berbicara kepadaku, “dek masih ada makanan di dapur?” Aku yang juga sibuk mempersiapkan acara mengusulkan agar pergi saja ke dapur, minta makanan disana. Tetapi karena dia belum banyak kenal teman-teman yang didapur, gadis cantik nan ayu ini tidak berani sendiri ke dapur. Sampai aku kembali ke dekat dapur, aku bertanya :
“sudah jadi makan”?
"belum"
jawabnya ... jawaban dengan suara menggetarkan hatiku. Akupun bergegas mengajak dia kedapur, untuk meminta di berikan makan. Sesampai di dapur, aku yang sudah lama kenal dekat dengan petugas masak, dengan setengah bercanda bilang :
“Ini wanita cantik belum makan, sudah kelaparan dari Medan, tolong di kasih makan”. Dengan ungkapan memuji itu, dia hanya tersenyum sedikit, tetapi mampu menggetarkan hatiku begitu dalam, betapa cantiknya wanita ini pikirku dalam hati.
Aku hanya menunggu sebentar dia di sediakan makanan didapur, lalu aku pergi mengikuti acara, setelah tawaranku untuk menemaninya makan ditolaknya.
“Nggak apa-apa, aku bisa makan sendiri”,
katanya dengan halus. Aku terus berlalu mengikuti acara. Tetapi sepanjang acara wajah bidadari ini tetap membayangiku.
Malam itu Bulan bersinar terang. Sinar Bulan yang terpancar dari riak gelombang kecil air Danau Toba di pinggir Samosir, mewarnai malam ketika wajahnya melekat di sanubariku. Sementara acara segera dimulai, aku hanya duduk di dekat pintu, bersama temanku yang kebetulan juga hanya menjaga pintu. Indahnya suasana Samosir masih menghiasi malam pertemuanku dengan nya. Sampai akhirnya dia selesai makan, dengan langkah pelan, dia datang menghampiri kami berdua. Temanku sudah kenal dengan dia di kampus.
Sebagaimana laki-laki yang gugup aku tidak sanggup berbicara seperti apa adanya. Keindahannya telah mencipatakan kebisuan padaku. Aku hanya bisa mendengar pembicaraannya dengan temanku. Sampai tiba temanku menawarkan kami untuk berkenalan dengan wanita cantik yang ada disampingku. Kemudian kamipun berkenalan, seadanya, “Ida,” katanya singkat. Tanganku masih menggenggam tangannya, kusebutkan namaku, dengan pelan. Lama kami terdiam, lalu kuberanikan bertanya, marganya, kampung asalnya yang ternyata adalah tempat ku dahulu sewaktu Sekolah Menengah Atas, kuliahnya yang kuliah disalah satu Kampus negeri di kota ini, dan sekitar kegiatannya. Tetapi setelah itu tak ada kata yang bisa terucap dari bibirku untuk sekedar melanjutkan cerita. Pesonanya membuatku kehabisan kata-kata. Tetapi temanku dengan bijak berhasil meminta nomor HP-nya untuk disimpan di Phone book HP-ku.
Acara telah selesai, kami kembali ke kamar masing-masing. Tetapi aku tidak bisa tidur malam itu. Dengan gelisah dan pikiran menerewang, dengan jelas aku masih bisa melukiskan wajahnya di hatiku. Pagi dini hari itu, menjadi berbeda dari biasanya. Sementara yang lain sudah tertidur pulas, mungkin sudah capek mengikuti serangkaian acara mulai pagi hingga malam, aku masih menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Pikiranku menerawang melintasi alam raya, membayangkan indahnya nirwana dengan seorang wanita cantik ada disisiku. Kucoba bungkam gejolak perasaan dihati dalam diam. Tetapi jiwaku tak kuasa untuk di benam. Ada keinginan untuk menyapa, yang mendorong jemari begitu kuat. Dalam kegelisahan kuberanikan kusentuh keypad HP-ku, dengan jantungku berdetak tak beraturan, kutulis, “ Selamat pagi Ida, nice to meet you”. Lalu kukirim. Tak ada jawaban.
Kulewatkan malam itu dengan seribu dugaan, apakah dia sudah tidur? Atau apakah dia tidak tertarik dengan smsku? Kalau begitu betapa malunya aku besok jika bertemu dengannya. Dalam hatiku ungkapan selamat pagi melalui sms itu seolah-olah sudah menumpahkan semua perasaanku, yang jika tidak di sambut dengan baik seolah-olah dia sudah tahu seluruh isi hatiku yang tertarik dengannya. Betapa malunya aku jika cinta bertepuk sebelah tangan? Rasa takut, rasa kagum bercampur aduk malam itu sampai mata begitu sulit terpejam. Ditemani bunyi-bunyian malam, kulewati malam itu dengan kegelisahan yang dalam.
Jam 05.00 pagi, suara dari posko terdengar, kami harus bangun sesuai jadwal yang ditetapkan. Senam pagi mengawali kegiatan pada pagi itu. Semua peserta diwajibkan hadir di lapangan. Kuterawangkan mataku mengelilingi tempat senam pagi, sosok wanita yang membuat jantungku berdetak kencang, dan yang mampu membuatku tidak bisa tidur malam ini, tidak ada. Kemana dia, dan kenapa dia tidak ikut senam pagi? Ah sudahlah, barangkali dia masih belum bangun. Barangkali dia juga seperti aku tidak bisa tidur malam itu. Senam pagi berlalu, semua bubar dan mempersiapkan untuk mandi yang dilanjutkan dengan makan pagi.
“Selamat pagi juga”. Sebuah suara lembut menyapa dari belakangku, ketika aku masih berdiri mengambil makan pagi. Suara itu sepertinya aku tahu dari siapa, kubalikkan badanku. Senyum manisnya menghiasi wajahnya, tepat didepanku, seolah tak percaya, bidadari ada didepanku. Aku tak berani bersuara, hanya senyum sekedar. Aku berlalu, dan mengambil tempat duduk di meja dan kunikmati makanan seadanya. Aku bodoh sekali tidak membalasnya, mengajaknya serapan, atau mengambilkan makanannya, atau sekedar basa-basi menanyakan bagaimana tidurnya tadi malam, apakah nyenyak atau tidak. Aku berlalu tanpa tahu bagaimana meresponinya dengan baik. Aku tidak tahu mengapa, apakah aku grogi, kehabisan kata-kata atau apa.
Acara Minggu pagi sudah dimulai, aku masih terbayang sapaanya pagi ini. Aku duduk agak menyamping di belakangnya, tetapi tidak terlalu jauh. Mataku sering sekali tertuju kepadanya. Kukagumi dalam hati ditengah acara yang sedang berlangsung. Sementara pembicaraan mengalir dari depan, pandanganku tak henti-hentinya mengarah kepada wanita ini. Tetapi ditengah acara, dia ngantuk. Kenapa dia? Tidak bisa tidur juga tadi malam seperti aku? Sampai kawannya yang duduk disampingnya, mencubitnya. Aku memperhatikannya, dan hanya bisa tersenyum. Aku sungguh tidak bisa konsentrasi sepanjang acara, melihatnya sungguh suatu keindahan tambahan dipinggir Danau Toba yang sungguh indah, yang bahkan terasa lebih indah dengan kehadirannya.
Selesai acara, aku buru-buru ambil Hand Phone-ku. “Ida tadi ngantuk ya, kenapa? Tadi malam lama tidur?. Tuh minum kopi dulu di dapur” Lalu ku send message. Tititit…tit, bunyi Hand Phone-ku tidak lama kemudian, ada sms masuk. Ku baca di kotak Inbox-ku, “Ya, aku agak ngantuk, tapi ngggak apa-apa. Trim’s ya atas perhatiaanya”. Hatiku seolah melompat kegirangan, balasan yang hanya sekedar itu kuperlakukan seolah aku dapat undian lotre berhadiah besar. Kulihat memang saat secsion ke-2 berlangsung dia sudah tidak ngantuk lagi.
Setelah acara secsion ke-2, yang ada adalah acara mandi-mandi di Danau Toba, setelah itu jalan-jalan ke Tuk-tuk Samosir. Aku sengaja tidak mandi, menungguinya, apakah dia ikut juga mandi? Kutunggu lama, tidak muncul, masih tetap di kamarnya? Sampai habis jam mandi-mandi, nggak ada juga. Dengan kecewa kulangkahkan kakiku menuju ke kamar untuk ganti pakaian dan persiapkan perjalanan ke Tuk-tuk Samosir.
Di perjalanan menuju Tuk-tuk yang berjarak + 1 km dari penginapan dan tempat acara, Dia ternyata juga muncul bersama rombongan di dalam perjalanan. Kami agak ramai yang jalan, temannya, dan juga teman-temanku. Tetapi aku kembali menunjukkan kepengecutanku, tak berani menyapanya sepanjang perjalanan. Dia sibuk berbicara dengan temannya, menunjuk kearah ini dan itu, mengagumi keindahan alam Samosir. Akupun sibuk bicara ngelantur-ngelantur tak tentu arah. Sampai tiba di Tuk-tuk aku tidak berhasil mengungkapkan sepatah katapun selain pandangan yang membuat aku tersipu dengan pandangannya yang seolah-olah menyudutkanku, seolah-olah dia tahu isi hatiku. Aku hanya beberapa meter di depannya, sesekali berbalik dan mengarahkan pandangan kepadanya.
Ah …. aku adalah laki-laki yang hanya bisa mengagumi tanpa bisa mengungkapkan atau mewujudkan perasaan yang ada dihatiku. Bukankah seharusnya aku menyapanya dalam perjalanan atau kutunjukkan isyarat cinta dan perhatian kepadanya. Tetapi aku hanya bisa terdiam tak tahu harus memulai dari mana.
Setibanya di Tuk-tuk, aku larut melihat-lihat barang-barang dagangan, souvenir yang di jual disana. Kumainkan seruling yang sedikit bisa kumainkan dan membeli beberapa buah untuk di bawa ke Medan. Tak lupa aku dengan beberapa teman menyaksikan si Gale-gale. Aku larut dengan suasana Tuk-tuk dengan semua yang ada di sana dan tak memperhatikan lagi kemana perginya dia dengan temannya. Kulanjutkan mengelilingi seputar Tuk-tuk, sampai tiba saatnya pulang ke penginapan kami. Pikirku diapun sebentar lagi akan pulang ke tempat dimana kami menginap.
Hari sudah agak sore, waktunya persiapan untuk pulang ke Medan. Kami kemas-kemas semua barang-barang perlengkapan. Aku tidak lagi memperhatikan siapa saja yang lalu-lalang yang mau pulang ke Medan. Aku sibuk mengkoordinir persiapan berangkat pulang. Mengemasi barang-barang dan mengangkut ke Kapal.
Pelan-pelan Kapal-Motor bergerak meninggalkan pantai. Kapal sedang bergerak menuju Parapat. Ditengah Danau tiba-tiba aku tersadar, dimana dia duduk? Ida, lagi di sudut mana kau sekarang berada? Aku turun ke bagian bawah kapal, tidak ada, lalu naik lagi, tak ada. Dimana dia sekarang? Apa dia tidak ikut pulang? Aku tak berani menanyakan kepada temanku, karena aku takut ketahuan apa yang sedang bergejolak di hatiku.
Semuanya bergejolak dihatiku diperjalanan pulang dari Samosir menuju Prapat. Kuratapi kegagalanku mengisyaratkan cinta pada dia yang kukagumi. Mengapa aku tidak membalas ucapan “selamat pagi” mu di pagi itu di tempat makan pagi? Mengapa aku tidak menyapamu di perjalanan ke Tuk-tuk itu? Mengapa engkau juga tidak muncul ketika ada acara mandi di Danau Toba itu? Mengapa aku tidak mengajakmu bersama menikmati indahnya alam-raya di sekitar Tuk-tuk? Mengapa aku terlalu pemalu?
Aku berpikir apa yang bisa kulakukan? Kusentuh kembali keypad HP-ku. “Aku cari di setiap sudut perahu bergoyang ini, tak ada wajahmu”. Lalu send message. Tititit…tit, bunyi HP-ku lagi. “aku ikut rombongan Alumni pulang dengan kak Lenny” jawabnya di kotak Inbox-ku. “Tahu jalan pulang kan?” Tanyaku setengah bercanda. “Off Course, I know…..” jawabnya sambil menambahkan beberapa kalimat yang ditujukan kepada temanku yang juga temannya. Betapa kecewanya aku saat itu, ketika aku tahu dia tidak ada bersama kami. Hilanglah kemungkinan kesempatan kami bisa bersama saat terakhir waktu jalan pulang ke Medan di Kapal-Motor atau di Bus.
Tidak ada lagi kata-kata yang bisa kuungkapakan untuk bisa melanjutkan komunikasi kami. Aku hanya bisa teriak didalam diamku dengan seribu bahasa. Meratapi ketidak mampuanku berjuang untuk mimpiku, sekedar untuk menemui ditempat kostnya yang sudah kutanyakan kepada temanku. Lama waktu itu berlalu, tak ada komunikasi yang terjalin. Hingga suatu kali kami lari pagi di Kompleks USU di Jl. Universitas, kulihat dia dari kejauhan, dia ada bersama temannya lari pagi. Tetapi ku putuskan untuk tidak menemuinya, aku takut dia tidak ingat lagi dengan aku?
Hingga suatu malam pertemuan kami secara tidak kebetulan, kami sama-sama Ibadah Minggu di Gereja yang sama. Kulihat dia, jarak kami tidak terlalu jauh. Kuputuskan untuk memberanikan diri menemuinya. “Ida” sapaku, dia menoleh, seolah dia sudah lupa, benar tebakanku beberapa bulan yang lalu sewaktu lari pagi itu. Dia memang sudah lupa dengan aku. “Masih ingat dengan aku?”, tanyaku. Aku ceritakan pertemuan kami dahulu. Kami bercerita panjang lebar. Sampai kutanyakan, “sama siapa”, “sendiri” jawabnya. “Pulang bareng yuk?”, menawarkan boncengan di kendaraan bebekku. “Boleh” jawabnya. Betapa senangnya hatiku pada saat itu, sampai di tempat kostnya, kami lanjutkan cerita yang lebih jauh.
Kami nikmati malam itu dengan penuh canda dan cerita tentang apa saja. Aku heran mengapa aku malam ini sudah bisa berbicara lepas dengan dia. Kenapa dulu aku tidak bisa hanya untuk sekedar menanyakan kabar, atau membalas ucapan selamat paginya waktu serapan pagi itu. Mengapa aku tidak mengajaknya jalan bareng waktu menuju Tuk-tuk. Kenapa juga aku tidak berani menemuinya setelah di Medan. Padahal temanku sudah memberi tahu tempat kostnya. Kenapa malam ini aku bisa lebih berani?
Akhirnya sampai juga aku ke sebuah pertanyaan yang sulit kuungkapkan. “Kamu sudah punya pacar”? tanyaku, “belum”, jawabnya dengan polos, “Kenapa?” tanyaku, “apa belum mau pacaran, atau menantikan seseorang? Karena kupikir wanita secantik dia pasti banyak yang mengharapkan cintanya. Tetapi kenapa dia belum mempunyai pacar? “Nggak tahu kenapa, dah mau sih, ada juga yang datang, tetapi menunggu seseorang barangkali bisa juga”, yang membuat hatiku seolah menyesal setengah mati. Mungkinkah aku yang kamu tunggu itu? Aku tidak berani menebak.
Tiba juga pertanyaanya mengarah untukku. “abang sendiri sudah punya pacar?”, tanyanya. Dia hanya terdiam dengan jawabanku. Tak ada reaksi atau tanda-tanda kecewa yang bisa mengisyaratkan bahwa yang dia tunggu adalah aku. Semuanya menjadi sebuah pertanyaan yang selalu kupendam.
Kenapa aku tidak datang padamu dulu? Kenapa aku tidak punya keberanian sedikitpun untuk menjumpaimu. Padahal barangkali diapun juga menantiku untuk datang kepadanya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, hanya penyesalan yang dalam atas kepengecutanku. Karena saat ini aku sudah punya pendamping hidup, yang juga kucintai. Selamat tinggal cantik, selamat tinggal bidadari. Selamat jalan untukku, dan semoga engkau mendapatkan yang terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar