Selasa, 07 September 2010

Kita dan “Kita”

(Sebuah catatan : Bagaimana kita menanggapi masalah CRC)
Jika ada orang yang membuktikan kepada saya bahwa Kristus berada diluar Kebenaran itu, maka saya lebih suka untuk tetap bersama Kristus ketimbang bersama Kebenaran itu.
Feodor Dostoevsky

Judul diatas sekilas adalah sama, kita dan “kita”. Tapi kita yang sama dengan “kita” telah berbeda. Kita yang pertama adalah kita sebagai Gereja, sesama umat Allah, satu Roh, satu Bapa, satu Baptisan. Tapi sekarang kita telah menjadi “kita”. Kita tidak sama lagi. Belum selesai perdebatan mengenai Baptisan, sekarang kita diperhadapkan kepada masalah yang lain. Baptisan yang seharusnya mempersatukan jemaat, belakangan telah mencerai-beraikan Gereja. Antara Baptisan anak (percik) dan Baptisan Dewasa (Selam) sampai sekarang masih diperdebatkan. Belum usai, kita telah dicerai-beraikan oleh sebuah doktrin yang dasar yaitu Doktrin Keselamatan.
Suatu saat, sebelum Yesus tersalib, yang dicatat oleh Injil Yohanes 17 : 1 – 21 Yesus berdoa kepada BapaNya, memohon “supaya mereka menjadi satu, sama seperti kita adalah satu, supaya Engkau dipermuliakan di dalam mereka”. Berulangkali ungkapan itu muncul, “supaya mereka menjadi satu sama seperti kita adalah satu”. Tetapi jika kita melihat sekarang kesatuan seperti apakah yang kita tunjukkan agar Allah dipermuliakan? Jika kita tidak bersatu masihkah Allah dipermuliakan dari semua pelayanan yang kita berikan?
Suatu kali ketika perdebatan kelompok Predestinasi (Calvivis) dengan kelompok Kehendak bebas (Armenian) terjadi. Setelah perdebatan sengit, mereka akhirnya masing-masing memisahkan diri. Kemudian seseorang yang tidak mau terlibat di dalam perdebatan itu, bingung mau pilih yang mana. Kemudian dia pergi ketempat penganut Predestinasi. Disana dia ditanya, kenapa kamu datang kemari, kemudian dia menjawab, dengan sedikit ragu, aku datang dengan kehendakku sendiri. Kemudian orang Perdestinasi berkata, “kehendak bebas, keluar”. Kemudian dia pergi ketempat orang kehendak bebas dan dia ditanya, “kenapa kamu datang kesini”. Dia menjawab aku diusir dari sana. Kemudian kehendak bebas berkata “keluar, kamu tidak bisa masuk kemari, kecuali atas kehendak bebasmu, bukan karena diusir”. Dia bingung dan akhirnya dia tinggal sendirian tak tahu harus kemana.
Barangkali sampai disini kita masih belum ada perdebatan masih batas kesalah-pahaman. Tetapi kelak seperti perdebatan itu yang melahirkan orang-orang yang tersingkir, kitapun akan semakin banyak melahirkan orang-orang yang bingung dan tidak mau ambil pusing dengan persoalan seperti itu, tetapi mereka pada akhirnya adalah orang-orang yang tersendiri. Jika kita berkata mau merangkul jiwa, apa yang kita lakukan adalah membuang jiwa.
Jika kita berbicara mengenai Predestinasi atau kehendak bebas, maka kita pun akan kembali mengungkit luka lama Gereja yang terus-menerus secara turun-temurun selalu membenarkan diri masing-masing. Semuanya menganggap diri paling benar. Tetapi saya mau mengatakan Bidatpun selalu menganggap diri paling benar, dia tidak pernah tahu dan pernah mengaku sebagai Bidat.
Seandainya kita mau jujur jika ini adalah kebenaran, kebenaran seharusnya adalah satu. Entah itu Predestinasi ataupun Kehendak bebas, yang manapun yang benar seharusnya kita bisa menerima dengan akal sehat, dalam arti rasionalitas, intelektual kita seharusnya bisa ditundukkan oleh Alkitab, bukan malah di doktrinasi oleh suatu paham atau suatu aliran.
Peruncingan masalah antara Calvinisme dan Armenianisme adalah cara paling ampuh mencerai-beraikan Gereja. Kita sama saja mencerai-beraikan tubuh Kristus sendiri. Seandainya kita mau menginjili seseorang apakah penting artinya Predestinasi atau kehendak bebas. Tidakkah cukup memaparkan “keempat fakta Injil?”
Memang perdebatan ini bagi mereka para Theolog, apa yang sedang kita bicarakan adalah menyangkut apakah kita mengerti Injil atau tidak. Tetapi jika saya bisa memilih, dalam kebodohan, jika menyangkut perdebatan ini adalah lebih baik tidak menjadi theolog, jika Allah berkenan lebih baik memberi hati yang mau benar-benar menangisi jiwa daripada sekedar berdebat. Walaupun aku tahu dizaman ini masa depan Gereja ada ditangan kita orang-orang yang bisa membela kekristenan dengan apologetic yang baik, tetapi bagi saya jika aku bisa memilih lebih baik berdebat dengan orang diluar kekristenan daripada berdebat dengan teman sendiri. Barangkali karena pengetahuan saya belum lengkap …., tetapi alasan paling utama adalah lebih baik menghindari perdebatan yang telah melahirkan percideraan mulai dari abad IV sampai sekarang. Karena jawaban dari kedua paham itu selalu jawaban klasik yang belum juga bisa meyakinkan lawannya. Maka jika kita berdebat kita akan kembali memperdebatkan hal-hal yang telah diungkapkan orang dan belum berhasil meyakinkan orang. Dan bagi saya itu adalah tindakan sia-sia.
Jika kita sekarang mengenal dua aliran yaitu Calvinisme dan Armenianisme, yang notabene mereka adalah orang yang hidup diabad XVII, sebenarnya perdebatan mengenai apakah Predestinasi atau kehendak bebas sudah dimulai sejak abad ke IV. Diawali dari Agustinus vs Pelagius, kemudian Martin Luther vs Erasmus, berlanjut ke Calvinis vs Jacobus Armenian (cucu rohani Calvin sendiri), seterusnya George Whitefield vs Jhon Wesley (Pendiri Methodis Wesley). Pada saat ini ada J.I. Packer di Amerika Vs beberapa theology terutama aliran Kharismatik. Perbedaan pendapat ini telah melahirkan perdebatan panjang sampai sekarang dan telah banyak melahirkan luka didalam Gereja sendiri. Perhatikan kalimat Marthin Luther kepada Erasmus, “Erasmus adalah belut”. Juga kalimat Jhon Wesley kepada George Whitefield di Inggris “ Tuhan orang Predestinasi adalah setan”.
Entah kalimat apalagi yang akan kita dengar kedepan. Disekitar kita ada ungkapan, kita harus memilih diantara beberapa paham, apa yang paling mendekati Alkitab, yang mendekati kebenaran, yang telah teruji sejarah, yang ditafsir dari Alkitab secara ketat. Tetapi dari dua aliran ini, Calvinis dengan Reform, Armenian dengan Methodhis Wesley masih tetap eksis sampai sekarang dan masih bekerja untuk Tuhan dengan militan.
Sesungguhnya didalam persoalan ini, jika aku harus memilih ah .. kembali kepada pilihan … jika harus memilih adalah baik sekali bagi saya jika Allah berkenan menjelaskan yang mana yang benar … jika pada akhirnya Predestinasi yang benar saya ingin sekali dikatakan bukanlah orang Calvinis dan jika Kehendak bebas yang benar aku tidak mau dikatakan orang Armenian. Tetapi apakah penganut kedua paham itu mau menerimanya? Nyatanya mereka saling mengklaim.
Jadi bagaimanakah sekarang? Bagaimana kita menghadapi persoalan ini? Kalau saya sendiri berpendapat, belajar teologi Calvinis, Armenian atau teologi apapun itu adalah baik yang jelas dasar kita haruslah Alkitab (Eh maaf kedua paham tadi juga mengaku dasarnya adalah Alkitab). Tetapi dalam konteks kita dizaman ini biarlah itu menjadi sebatas bahwa kita mengenal apa pendapat mereka. Walaupun memang saya ragu apakah kita bisa berhikmad dalam bertheologi dalam arti implementasi dalam kehidupan sehari-hari baik itu dipengajaran sebagai PKK baik dalam arahan pelayanan bisa melihat dengan wawasan yang luas dengan tidak memaksakan salah satu ajaran. Kenyataannya sekarang adalah kita telah terseret didalam perdebatan itu, dan dalam kehidupan sehari-hari …. maaf aku tidak bisa mengungkapkannya.
Konteks Pelayanan kita
Tidak bisa kita pungkiri bahwa kita telah terjebak didalam persoalan ini. Hal yang sangat saya risaukan sejak beberapa teman mengikuti CRC dan kemudian mengajarkan salah satu paham yang diperdebatkan tadi yang notabene adalah salah satu kutub di perdebatan ini. Hal ini telah melanggar apa yang menjadi Culture dan Sifat pelayanan ini yaitu Interdenominasi yang artinya bahwa kita tidak menganut salah satu paham apapun apalagi terlibat didalam perdebatan itu. Kita bukan organisasi Gereja tetapi menjadi pelengkap Gereja yang disebut dengan Parachurh dan berdiri dengan dasar Alkitab.
Oleh karena itulah setiap orang yang mencoba memasukkan ajaran ini harus di stop dari mata rantai pengajaran dalam hal ini yang paling utama adalah sebagai PKK. Yang selanjutnya adalah setiap koordinasi yang terlibat harus di skors sebagai koordinasi karena sebagai Koordinasi bisa mempengaruhi dan mengarahkan kepada salah satu paham itu.
Sekali lagi dan harus digaris bawahi bahwa saya tidak mengatakan Theologi Reform salah tetapi dalam konteks pelayanan yang Interdenominasi, membawa kita berkiblat kepada salah satu ajaran dan memasukkan salah satu paham kedalam pengajaran adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.



Poltak Marbun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar