Selasa, 07 September 2010

KRISTEN : Diantara Agama dan sebuah Komunitas

Monica Bellucci, seorang aktris Italia pemeran Maria dalam Film Hollywood yang terkenal “The Passion Of Crisht” garapan Mel Gibson mengatakan dia adalah seorang Atheis. Menanggapi perannya dalam film tersebut dia berkata : Aku pernah mendengar nama itu (Yesus) tapi saya tidak tahu apakah saya percaya atau tidak kepadaNya. David Steven seorang penyanyi Inggris dan pencipta banyak lagu Rohani sekarang menjadi Da’i dan penganut Muslim yang taat. Sekarang dia tidak diperbolehkan masuk Amerika karena diduga seorang yang sangat berbahaya.
Di Eropa yang menjunjung tinggi kebebasan banyak orang tidak peduli lagi tentang agama. Gereja hanya diisi oleh orang tua, dan sebahagian kecil dari masayarakat. Nilai nilai agama semakin luntur dan terdegradasi dari prioritas kehidupan. Kesuksesan dan kebaha-giaan menjadi tempat tertinggi bagi kebanyakan orang.
Di Indonesia tidak jauh beda. Artis si A pindah Agama menjadi seorang Muslim, Artis si B pacaran dengan si C yang Muslim dan sebaliknya si X pindah menjadi Kristen. Mass media terutama televisi menyuguhi kita dengan hal-hal yang seperti itu, dan konsumsi kitapun tentang informasi hanya seputar itu ke itu saja. Kita bangga dengan artis si A yang satu agama dengan kita yang justru belum tentu kita tahu agama seperti apa keagamaanya atau Kristen seperti apa kekristenannya. Kita sendiri telah menempatkan agama kita kepada primoldialisme sempit untuk suka atau tidak suka dengan si A dan membenci si C dan senang dengan si B dengan menggunakan agama kita.
Lalu menjadi pertanyaan sekarang mengapa mereka tidak mau peduli dengan agama mereka atau mengapa mereka begitu gampang meninggalkan “Tuhannya?” Atau bagi kita alasan apakah yang tetap mengikat kita sehingga tetap setia mengikut Tuhan?
Karl Marx pemimpin sosialis Soviet dalam bukunya “Das Capital” mengatakan bahwa agama hanyalah sebuah candu masyarakat. Dan di Negaranya dia melarang agama dan menyiksa orang Kristen yang pada saat itu menjadi agama kebanyakan negara-negara Eropa. Dalam bukunya dia berkata begini : Aku melihat orang-orang yang berkata penganut agama tapi juga melakukan hal-hal yang tidak benar. Korupsi dimana-mana, pembunuhan dimana-mana dan penjualan budak dimana-mana. Di Amerika pada abad XIX Rasialis merajalela yang, dan di Afrika terkenal dengan politik aphartheid, kesemuanya itu dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beragama Kristen.
Kontras di Negeri kita tercinta Indonesia pemboman dilakukan oleh orang-orang yang membela agama, atas nama agama. Simbol-simbol keagamaan dan fanatisme sempit mewarnai setipa aksi yang mereka lakukan. Ketika muncul Laskar Jihad dikalangan Muslim, maka kaum kristiani tidak mau ketinggalan dengan membentuk Laskar Kristus. Adu kekuatan tidak terelakkan, maka jadilah bunuh-membunuh daiantara saudara sebangsa dengan atas nama agama.
Di Indonesia KTP kita sebagai tanda identitas dilengkapi dengan agama yang kita anut. Celakanya bagi kita golongan minoritas terasa sangat menyakitkan. Identitas keagamaan seseorang turut mempengaruhi naik tidaknya karier sesorang atau lulus tidak lulusnya didalam suatu instansi. Maka jadilah agama menjadi alat kekuasaan yang harus di ikuti untuk namanya karier.
Lalu apakah Karl Max salah dengan pengamatannya? Jika kejahatan dilakukan orang yang mengaku penganut agama, saya pikir kita setuju dengan Karl Max bahwa agama hanyalah candu. Bahkan kalau bisa seperti dinegaranya sana di Uni Soviet agama sebaiknya di hapus. Dia benar, kalau agama yang seharusnya mengajarkan nilai-nilai moralitas sudah tidak lagi bisa menjadi tolak ukur etika didalam bermasyarakat maka sia-sia saja negeri ini penganut agaman.
Akan halnya dengan Mahatma Gandhi yang walaupun dia mengagumi Kristus dan berjuang sesuai dengan ajaran keristenan yang tanpa kekerasan seperti yang diajarkan dalam Kotbah di bukit yang sering dia baca dia gagal sampai kepada inti kekristenan. Kalau teladan etika dan moralitas dia mengagumi Yesus tapi dia tidak menerima bahwa Yesus adalah jalan satu-satunya ke sorga. Dia hanya berhenti dipintu Gedung gereja bukan ke altar Sang Maha Kudus.
Lalu apa yang kita harapkan dengan agama kita? Suatu kali dari beberapa negara berkumpul para pemuka agama dan berdiskusi tentang agama yang mereka anut. Apakah kelebihan dan kekurangan masing-masing. Takkala pertemuan semakin larut malam, semua agama sepertinya sama saja mengajarkan etika dan moralitas, mengajarkan kebaikan. Sampai suatu saat terakhir malam itu seorang penulis terkenal C.S. Lewis datang dan bertanya ada apa ini? Yang hadir bertanya apa sumbangan utama ke Kristenan bagi dunia. Dia berkata “Kasih Karunia”. Kasih karunia sebagai pemberian Allah bagi setiap orang percaya. Sesuatu yang tidak ternilai harganya.
Disinilah letak perbedaanya. Ketika Karl Max mengharapkan teladan moralitas dari penganut agama, dia kecewa. Seperti juga Mahatma Gandhi, kalau hanya moralitas maka kekristenan tidak bisa mengklaim hanya Kristus jalan keselamatan. Bukankah Buddha dan Hindu, agama dinegaranya mengajarkan moralitas? Agama telah mereka pahami sebagai panglima etika, dimana perbuatan kebaikan itu menjadi jalan keselamatan. Berbuatlah sebaik-baiknya maka kamu akan selamat.
Lalu bagaimana dengan kekristenan, haruskah kita katakan sebagai salah satu agama didunia sama seperti agama yang lain? Kalau kita berkata ya, maka seperti halnya Karl Max atau juga Mahatma Gandhi, kita juga akan kecewa bukan hanya pada penganut agama lain yang atas nama agama melakukan pembunuhan tapi juga kepada saudara kita sendiri yang “satu agama” dengan kita. Agama bila dianggap standart moralitas yang penganutnya kita harapkan menjadi teladan maka setiap kali itu pula akan kecewa.
Kalau kita berkata adalah seorang Kristen, kita seharusnya tidak memahaminya menjadi sebuah agama. Kalau hanya sebuah agama kita suatu saat akan sampai titik seperti pemuka agama itu, kita berhenti dan berkata semua agama sama saja. Lalu apakah kekristenan? Saya memberi pemahaman seperti ini. Saya adalah seorang pengikut Kristus yang kebetulan dinamakan dengan KRISTEN. Seandainya pengikut Kristus itu dinamakan bukan dengan Kristen maka aku akan menggunakan nama agama yang lain. Ini berarti bukan agamanya yang penting tapi siapa saya. Dengan demikian saya berkata bahwa kekristenan bukanlah agama tapi sebuah komunitas pengikut Kristus. Kita tidak seharusnya terjebak dalam primoldialisme agama.
Sampai dititik itu seperti C.S. Lewis kita harus memahami kekristenan dari Kasih Karunianya bukan dari identitas sebagai agama. Maksudnya adalah seharusnya Kristen itu harus dipahami sebagai komunitas, bukan sebagai agama. Disinilah letak celakanya, bukankah orang yang menganut agama sebagai agama ikutan, karena orang tuanya menganut agama Kristen maka dia pun ikut, maka jadilah Kristen karena agama bukan karena mengikut Kristus. Dunia telah mati dan celaka karena didalam diri penganut agama Kristen tidak terdapat gambar Kristus. Agama ini yang kita masuk didalamnya sudah menjadi sama dengan agama yang lain hanya menjadi agama bukan jalan keselamatan.
Sayangnya kita yang masuk didalam agama ini yang mengikut Kristus yang dikatakan sudah lahir baru, justru juga gagal memberi warna dari yang lain. Kita yang seharusnya menjadi garam gagal memberi rasa, yang seharusnya memberi terang gagal menjadi pelita. Kamu bukan dari dunia kata Tuhan Yesus, tapi kitapun sama saja, mimpi dan harapan kita masih sama dengan orang dunia. Entah apa yang mau kita katakan tentang Karl Max, atau Mahatma Gandhi, juga dizaman ini, apakah kita mencelanya, mengutuknya atau … kita akan menangis dengan diri kita sendiri atas kegagalan ini. Komunitas yang diharapkan Yesus untuk menjadi komunitas pengikutnya yang menolak harta dunia, kekuasaan, batu menjadi roti justru mencari semuanya itu.
Mungkin seperti Karl Max bahwa “agama” hanya sebuah agama atau hanya sebuah candu, demikian juga mungkin dunia ini melihat kita sama saja. Kenapa kekristenan tidak menarik banyak orang? Bukankah sorga yang dicari semua orang itu ada pada Tuhan yang kita sembah? Tapi kenapa mereka tidak tertarik? Atau seperti apa kata Philip Yancey kenapa Injil yang kita katakan sebagai khabar baik tidak begitu baik kedengarannya? Bukankah khabar baik seharusnya dirindukan dan ingin didengarkan orang? Kenapa kita juga enggan memberitakannya? Mungkinkah kita juga sudah terjebak dengan mengangap bahwa agama kita hanyalah sebagai agama yang di alam Indonesia diwajibkan harus punya agama? Barangkali bagaimana jika kita di Eropa dengan kebebasannya yang luar biasa? Mungkinkah kita juga tidak peduli dengan agama kita atau menjadi penganut Atheis?
Sekarang sebuah pertanyaan bagi saya sendiri dan kita semua, kekristenan apakah keristenan kita, apakah sebuah agama atau kekristenan karena mengikut Kristus? Tuhan Yesus berkata” Barang siapa yang mau mengikut Aku, dia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Kristen adalah komunitas pengikut Kristus. Jika kita berkata bahwa kekristenan kita bukanlah kekristenan yang “agama” tidak bisa tidak kita harus mengikut Dia. Bersikap sebagai orang pengikut Kristus yang siap menderita, yang mimpi dan harapannya adalah kekekalan, yang Integritasnya tidak bisa dinilai dengan uang. Yang keberhasilan yang dia impikan adalah keberhasilan yang berkenan dimata Tuhan. Seperti kata Dietrich Bonhoeffer “menghargai kasih Karunia dengan benar”. Atau dalam pelayanan tidak berlaku sebagai seorang upahan, apa yang kita kerjakan sering kita inginkan untuk mendapatkan penghargaan dan penghormatan bukan respon atas kasih karunia.
Barangkali agar Karl Max zaman ini , Mahatma Gandi zaman ini mau datang dan sampai kepada Allah dan Injil itu baik kedengarannya, bagi kita tidak bisa tidak kita harus mengikut Kristus dengan teguh. Agar kasih karunia terdengar bagi dunia.
Mungkin seperti kata Donald J. Brill dalam bukunya “Kerajaan yang Sungsang” nama Kristen menjadi salah satu nama agama merupakan Kecelakaan sejarah? Bukankah Yesus tidak pernah membawakan sebuah nama agama?

Marbun. P. Bn.
Pekanbaru, Desember 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar